1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PanoramaBrasil

Produsen Fesyen Kenamaan Dituding Ikut Merusak Hutan Brasil

Nadia Pontes
12 April 2024

Menurut penyelidikan terbaru, merek besar seperti Zara dan H&M dituding menjual pakaian yang diproduksi dengan kapas dari pertanian di Brasil, yang dinilai berkontribusi pada penggundulan hutan dan perampasan lahan.

https://p.dw.com/p/4egOb
Ladang pertanian kapas di Brasil
Brasil adalah negara penghasil kapas terbesar keempat di duniaFoto: EVARISTO SA/AFP

Sebelum sampai ke etalase toko milik industry mode seperti Zara dan H&M, celana katun, celana pendek, kemeja dan kaus kaki yang akan dijual itu telah meninggalkan jejak deforestasi, perampasan lahan dan pelanggaran hak asasi manusia di Brasil.

Meskipun banyak dari tanaman kapas telah diberi label produksi berkelanjutan, penyelidikan selama setahun yang dilakukan oleh LSM Earthsight yang berkantor pusat di Inggris merinci hubungan antara pertanian kapas di Brasil, produsen kapas terbesar keempat di dunia, dan merek-merek fesyen asal Eropa.

Earthsight menganalisis citra satelit, catatan pengiriman, arsip publik, dan mengunjungi daerah produksi untuk melacak perjalanan yang dilakukan oleh 816.000 ton kapas.

Menurut laporan tersebut, bahan mentah ini diproduksi khusus untuk delapan perusahaan Asia yang antara tahun 2014 dan 2023, memproduksi sekitar 250 juta item. Banyak dari Perusahaan tersebut, menurut penyelidikan, memasok untuk merek-merek fesyen Eropa, antara lain H&M dan Zara.

"Sangat mengejutkan melihat hubungan antara merek-merek global yang sangat terkenal namun tampaknya tidak melakukan upaya yang cukup untuk mengendalikan rantai pasokan ini, untuk mengetahui dari mana kapas berasal dan dampak apa yang ditimbulkannya,” kata Rubens Carvalho, kepala deforestasi penelitian di Earthsight, kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Masalahnya terletak pada sumbernya. Kapas untuk ekspor sebagian besar diproduksi di bagian barat negara bagian Bahia, Brasil. Ini adalah sebuah wilayah di sabana tropis dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang disebut Cerrado.

Vegetasi di Cerrado sering kali ditebang secara ilegal untuk dijadikan lahan pertanian dan budidaya. Deforestasi di sana meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir, menurut Institut Penelitian Luar Angkasa Nasional Brasil.

Terkait deforestasi dan perampasan lahan

Di antara kasus-kasus yang dianalisis dalam laporan ini adalah kelompok SLC Agricola, yang mengklaim menangani 11% ekspor kapas Brasil. Laporan Earthsight memperkirakan bahwa dalam 12 tahun terakhir, lahan Cerrado yang setara dengan 40.000 lapangan sepak bola telah dihancurkan di dalam lahan pertanian SLC.

Pada tahun 2020, perusahaan yang juga menanam kedelai ini dinobatkan sebagai penggundul hutan terbesar di bioma tersebut, menurut lembaga think tank Amerika, Chain Reaction Research.

Pada tahun 2021, SLC berkomitmen terhadap kebijakan zero deforestasi dengan para pemasoknya. Namun setahun kemudian, sebuah laporan oleh konsultan nirlaba Aidenvironment menemukan bahwa 1.365 hektare Cerrado telah dihancurkan di area properti yang menanam kapas. Dan hampir separuhnya berada dalam batas wilayah legal. 

Ketika ditanyai mengenai tuduhan ini, perwakilan SLC mengatakan kepada DW bahwa "semua konversi vegetasi asli yang dilakukan SLC terjadi dalam batas yang ditetapkan undang-undang."

Kelompok lain yang dianalisis secara rinci adalah Horita, yang dituduh oleh Earthsight melakukan sengketa tanah dengan komunitas adat tradisional. Grup Horita tidak menanggapi permintaan DW untuk berkomentar.

Kapas untuk bahan baku merek fesyen Eropa

Dalam investigasi mereka, Earthsight menelusuri kembali jalur ekspor kapas dengan kapasitas 816.000 ton dari SLC Agricola dan Grup Horita antara tahun 2014 dan 2023. Tujuan utama ekspor adalah negara seperti Cina, Vietnam, Indonesia, Turki, Bangladesh, dan Pakistan. Data yang dapat ditelusuri mengarah ke delapan produsen pakaian di Asia.

Semua perantara yang diidentifikasi (PT Kahatex di Indonesia; Noam Group dan Jamuna Group di Bangladesh; Nisha, Interloop, YBG, Sapphire, Mtmt, di Pakistan) memasok produk ritel ke merek seperti Zara dan H&M, menurut LSM tersebut.

"Kapas yang kami kaitkan dengan hak atas tanah dan pelanggaran lingkungan hidup di Bahia bersertifikasi Better Cotton,” kata laporan Earthsight.

Sertifikasi ini diluncurkan tahun 2009 oleh industri fesyen dan organisasi seperti WWF. Better Cotton membuat sertifikasi yang menyatakan asal bahan mentah yang aman. Berdasarkan inisiatif ini, terdapat 370 pertanian bersertifikat di Brasil yang bermitra dengan Asosiasi Produsen Kapas Brasil, Abrapa.

SukkhaCita: Produksi Berkelanjutan Sambil Perhatikan Hak Asasi

Better Cotton yang berkantor pusat di Swiss mengatakan kepada DW bahwa mereka baru saja menyelesaikan audit pihak ketiga terhadap pertanian yang terlibat, dan memerlukan waktu untuk menganalisis temuan mereka, serta menerapkan perubahan jika diperlukan.

Perlu lebih banyak kontrol rantai pasokan

H&M mengatakan kepada DW bahwa "temuan dalam laporan ini sangat mengkhawatirkan,” dan menambahkan bahwa pihaknya menangani masalah ini dengan sangat serius.

"Kami tengah berdialog erat dengan Better Cotton untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan dan langkah selanjutnya yang akan diambil untuk memperkuat dan merevisi standarnya,” kata perusahaan tersebut melalui email. 

Zara mengatakan kepada DW bahwa mereka juga menanggapi "tuduhan terhadap Better Cotton dengan sangat serius," dan menuntut agar lembaga sertifikasi tersebut membagikan hasil penyelidikannya sesegera mungkin.

Pada tanggal 10 April, Inditex, pemilik Zara, menuntut transparansi lebih dari Better Cotton setelah ada pengumuman bahwa laporan tersebut akan dirilis pada hari berikutnya. Inditex mengirimkan surat kepada inisiatif Better Cotton tertanggal 8 April, meminta klarifikasi tentang proses sertifikasi ini.

Bagi Rubens Carvalho dari Earthsight, meminta pertanggungjawaban masyarakat Eropa adalah bagian dari solusi untuk mengakhiri deforestasi dan pelanggaran hak di pusat produksi komoditas seperti Brasil.

"Katun masih belum begitu diregulasi di pasar Eropa. Mereka perlu mengatur konsumsinya dan memisahkannya dari dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia,” katanya. "Perlu peraturan serius yang menghukum ketidakpatuhan. Hal ini dapat meningkatkan tekanan pada produsen.”

ae/hp